Posted in Earth and me

Menjaga Bumi di Tengah Pandemi

Good day good people,

Apa yang terpikir di kepala kita ketika mendengar kata ‘perubahan iklim’ dan ‘pemanasan global’? Sebagian dari kita mungkin merujuk pada ingatan semakin panasnya suhu udara dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, air laut yang semakin meninggi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan bencana alam lainnya. Namun, ketika kebakaran hutan mereda, banjir yang mulai surut dan udara panas di luar tergantikan dengan udara nyaman dari pendingin ruangan, kita seolah lupa bahwa perubahan iklim masih tetap berlangsung. Apalagi di tengah pandemi sekarang ini dimana fokus dan perhatian kita sebagian besar tercurah untuk beradaptasi dengan keadaan.

Baru-baru ini Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan akan terjadi badai siklon tropis “Mangga” yang akan menyebabkan gelombang setinggi 6 meter di sejumlah perairan dan tingginya curah hujan di sejumlah wilayah di Indonesia. Ini hanyalah salah satu bukti bahwa perubahan iklim secara pelan tapi pasti, masih terus berjalan dan sedang mengancam kelangsungan hidup berbagai organisme, ekosistem termasuk manusia.

Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada pola indikator iklim seperti suhu permukaan, curah hujan, suhu permukaan laut, tinggi permukaan laut dan cuaca yang ekstrem  dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan temperatur bumi secara global atau yang sering disebut sebagai global warming dilaporkan telah terjadi sejak masa pre-industri yaitu antara tahun 1850 hingga 1900 dan semakin meningkat dalam 50 tahun terakhir.

This graph illustrates the change in global surface temperature relative to 1951-1980 average temperatures.
Grafik kenaikan temperatur permukaan bumi secara global dari tahun 1880 hingga 2020. Sumber:  NASA’s Goddard Institute for Space Studies

Proses terjadinya pemanasan global serupa dengan proses penghangatan yang terjadi pada rumah kaca. Normalnya, sinar matahari yang jatuh ke bumi sebagian akan diserap dan sebagian lagi akan dipantulkan ke angkasa. Namun, adanya gas-gas seperti CO2, metana, NO2, CFC menyebabkan sinar yang seharusnya dipantulkan keluar bumi kembali ke bumi. Gas-gas rumah kaca inilah yang menyebakan kenaikan temperatur bumi yang selanjutnya menciptakan perubahan iklim yang lebih luas.

Diantara semua gas penyebab rumah kaca, CO2 menjadi gas yang paling dominan berada di lapisan atmosfer bumi.

https://www.c2es.org/site/assets/uploads/2017/09/cait-global-emissions-gas.png
https://www.epa.gov/ghgemissions/overview-greenhouse-gases

Sumber gambar: Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks 1990-2015 (EPA, 2017)

Gas karbondioksida bisa dihasilkan dari proses pernafasan, proses pembusukan dan dihasilkan dari gunung berapi yang meletus. Namun, emisi karbondioksida paling banyak didapatkan berasal dari hasil pembakaran fosil (minyak, batu bara, gas alam) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi seperti listrik dan industri. Selama beberapa dekade terakhir dilaporkan telah terjadi peningkatan yang tajam pada jumlah emisi karbondioksida. Jumlah ini diproyeksikan akan terus meningkat di dekade berikutnya.

Emisi gas karbondioksida secara global. Sumber : Carbon Dioxide Information Analysis Center (Oak Ridge National Laboratory, 2017)

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah membawa dampak besar baik pada lingkungan, organisme hingga kehidupan manusia. IPCC melaporkan kenaikan rata-rata suhu di masa mendatang bisa mencapai 1,5o C dari yang saat ini sekitar 1oC. Ilmuwan memprediksi akan terjadi kerusakan ekosistem yang fatal apabila kenaikan suhu mencapai 2o C atau lebih. Data dari NASA’s Gravity Recovery and Climate Experiment menunjukkan adanya pengurangan  lapisan es di Greenland dan Antartika. Greenland kehilangan sekitar 286 miliar ton lapisan es per tahun antara tahun 1993-2016 sementara pada periode yang sama Antartika kehilangan sekitar 127 miliar ton es per tahun. Mencairnya lapisan es dunia menyebabkan kenaikan pada seluruh permukaan air laut.

Di Indonesia sendiri, dampak dari pemanasan global bisa dirasakan pada banyak sektor kehidupan. Pada sektor agraria, perubahan iklim telah memicu perubahan pada pola musim hujan dan musim kemarau di Indonesia sehingga menyulitkan petani dalam menentukan masa tanam. Kejadian badai El Nino juga didapatkan terjadi semakin sering dengan intensitas yang semakin kuat. Hal ini menyebabkan musim kemarau menjadi semakin panjang dan berimbas pada berkurangnya ketersediaan air. Suhu udara yang meningkat juga menyebabkan bertambahnya populasi beberapa jenis hama. Hal-hal tersebut beresiko menyebabkan gagal panen dan penurunan produksi pangan.

Kenaikan suhu permukaan laut yang terjadi di Indonesia berpengaruh terhadap biodiversitas dan ekosistem laut. Pemutihan karang (coral bleach) terjadi sebagai respon dari karang yang stress akibat suhu air laut yang menghangat dan merupakan awal dari proses kematian karang. Pada tahun 1997-1998 dilaporkan telah terjadi kematian karang hingga 70% di Laut Jawa. Karang merupakan habitat hidup bagi ikan-ikan. Kematian karang tak hanya mengurangi biodiversitas karang itu sendiri tetapi juga keanekaragaman ikan. Selanjutnya hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya hasil tangkapan ikan para nelayan.

Kenaikan tinggi muka laut (TML) juga dirasakan di sepanjang daerah pesisir Indonesia. Data dari Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RANAPI) Kementerian PPN/Bappenas tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan laju TML sebesar 0.8 mm tahun pada periode 1960-2008. Tren melonjak naik menjadi 7 mm per tahun sejak tahun 1993. Kenaikan TML akan mengakibatkan meluasnya genangan air laut, abrasi daerah pesisir dan intrusi air laut ke daratan akan mengancam kehidupan penduduk di daerah pesisir.

Bencana alam lainnya yang timbul akibat perubahan iklim seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan akan diikuti oleh timbulnya masalah kesehatan seperti diare, malaria, demam berdarah, gangguan saluran pernafasan dan permasalahan kesehatan lainnya.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Efek dari pemanasan global mungkin tidak akan berhenti secara tiba-tiba saat kita melakukan berbagai upaya pencegahan perubahan iklim. Bumi memerlukan waktu untuk berespon mengingat emisi karbondioksida di atmosfer yang telah menumpuk selama hampir ratusan tahun. Namun, apabila tidak dilakukan upaya pencegahan, perubahan iklim akan terjadi semakin cepat hingga timbul dampak yang fatal dan tidak bisa dikembalikan seperti sebelumnya (irreversible change). Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memperlambat proses pemanasan global. Pendekatan dalam permasalahan ini diantaranya dengan melakukan upaya mitigasi mengurangi emisi karbondioksida dan beradaptasi dengan perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini.

Apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengurangi emisi CO2?

  1. Hemat Energi

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat adanya kenaikan konsumsi listrik sebesar 1-3% sejak diberlakukannya WFH (Work from home). Pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil. Dengan menghemat penggunaan listrik, kita juga membantu mengurangi pelepasan emisi karbondioksida ke udara bebas.

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghemat listrik, yaitu:

  • mematikan saklar lampu bila kamar tidak digunakan atau bila kamar sudah terang dengan pencahayaan dari sinar matahari,
  • menggunakan air conditioner (AC) seperlunya,
  • mematikan televisi, radio, atau laptop bila tidak ditonton, tidak didengarkan atau tidak dipakai,
  • mencabut charger dan steker lainnya dari soket (colokan) bila tidak digunakan,
  • menyetrika/mencuci banyak pakaian dalam sekali, tidak sedikit-sedikit dan berkali-berkali
  • memanfaatkan angin alami dan sinar matahari untuk mengeringkan pakaian

Menghemat energi lainnya dengan cara

  • menggunakan kompor gas secara efisien dan seperlunya
  • memilih menggunakan kendaraan umum
  • beralih ke sumber energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan

2. Pelestarian Hutan

Pepohonan yang sehat dapat membantu proses penyerapan karbondioksida dengan dibantu cahaya matahari dan air dari tanah melalui proses fotosintesis. Hutan dapat berpotensi sebagai penyerap karbondioksida dalam jumlah yang besar tetapi dapat pula sebagai penyumbang apabila mengalami kebakaran hutan atau saat terserang hama.

Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan luas hutan Indonesia tahun 2017 adalah 133.300.543 hektar. Jumlah yang luas ini apabila dipertahankan atau ditambah dan dijaga kelestariannya sudah pasti akan membantu menyerap banyak karbondioksida. Hal sederhana yang bisa kita lakukan yaitu dengan menghemat penggunaan kertas (beralih ke format digital), mendaur ulang kertas, menggunakan tas reusable, dan ikut serta melakukan reboisasi atau penanaman pohon di lingkungan sekitar kita.

. Nah, itulah beberapa cara menjaga bumi yang bisa kita lakukan meski sedang pandemi. Apa kamu punya ide lainnya untuk menjaga bumi kita?

Referensi data:

with love,