Posted in Uncategorized

Giving Birth Story

Ketakutan terbesar bagi wanita hamil ada dua, proses persalinan dan kondisi bayi saat lahir. Apakah persalinan akan lancar? Apakah bayi lahir sehat dan lengkap? Saya pun demikian. Menjelang HPL (hari perkiraan lahir)

hati ini rasanya suwar suwir gimana gitu. Deg degan iya, senang iya, takut iya. Untunglah selama trimester 3 saya pernah ikut yoga hamil. Setiap muncul perasaan tak menentu, selalu saya afirmasikan kalimat-kalimat positif ke diri dan kandungan saya.

Biasanya bayi akan lahir di usia kehamilan (UK) 38-39 minggu, bisa maju bisa mundur. Hanya 5% yang lahir tepat di HPL. Husbae sudah menemani saya sejak UK 37 minggu, siap-siap kalau si baby nanti mau brojol kan ngga bingung lagi mesti nyari flight ke Bali.

Hari berganti hari, hingga UK saya 39 minggu 3 hari si baby juga belum ngasi tanda-tanda mau keluar. Mungkin masih nyaman dalam perut saya. Hehe. Berusaha tetap tenang walau dalam hati waswas, kalau lewat 40 minggu dan disaranin SC, gimana? Ah, saya buang jauh-jauh pikiran itu. As long as my baby is healthy, that is the most important thing.

Uk 39 minggu 4 hari, Husbae lebih sering nganter saya jalan-jalan bahkan nganter saya ketemu temen lama saya. Kali aja setelah curhat panjang lebar, si oksitosin membuncah terus muncul kontraksi. Namun, everything just like usual. H-2 HPL, pagi-pagi Husbae ngajak saya pergi ke pantai, ibu mertua juga ikut serta. Lumayan jauh perjalanannya membuat dekbayi jadi lebih aktif. Sesekali saya merasa perut mules yang saya sebut sebagai ‘gelombang cinta’ adik bayi, tapi ngga sampai 5 detik si gelcin hilang.

Malam harinya, saya kembali melakukan afirmasi, memantapkan diri saya, menguatkan hati saya dan meyakinkan si baby bahwa ibunya sudah siap untuk menerima kelahirannya.

Esok paginya, H-1 HPL gelombang cinta kembali datang. Hilang timbul tapi intervalnya jauh. Saya berusaha untuk tetap jalan-jalan di depan rumah, harapannya biar gelombangnya nambah kenceng jadi pembukaan lebih cepat. Ternyata ngos-ngosan juga dan rasanya mulai ngga karuan. Saya tiduran sebentar. Siangnya saya terbangun karena lapar. Tapi, eh.. kok si gelcin malah hilang. Gelombang cinta baru muncul lagi saat petang, lebih intens, lebih keras. Namun, saya masih ingin di rumah. Husbae kemudian menelponkan Doula saya, bidan Emi. Malamnya ia datang, melakukan pemeriksaan dalam. Ternyata bukaannya baru 2. Gelombang cinta tambah kuat, hingga dini hari saya tidak bisa tidur. Husbae menggenggam tangan saya dan mengingatkan untuk inhale-exhale. Berkali-kali saya meremas tangannya ketika gelombang cinta itu timbul. Doula Emi juga membantu memberikan massage dan hypnobirthing. Jujur, saat gelombang cinta muncul, rasa sakitnya jauh berkurang.

Menjelang subuh, gelombang cinta rasanya udah ngga ada jedanya. Terus menerus. Saya cuma bisa bersandar pada Husbae, dan saya akhirnya bilang “Kita ke rumah sakit aja sekarang, aku udah ngga bisa tahan.. pasrah, mau normal mau sc…”. Husbae pun juga sepertinya udah ngga tega liat saya meringis. Ia juga luluh dan kami pun segera bersiap ke RS.😅

Sampai RS, Husbae masih tetap mendampingi saya bersama ibu mertua dan ibu kandung saya yang sudah datang sejak pagi. Semua menawari saya untuk makan. Padahal makanannya enak-enak, tapi ga ada nafsu makan karena menahan si gelombang cinta. 😅

Saat dilakukan pemeriksaan dalam oleh bidan, katanya saya sudah bukaan 5. Namun, ternyata ada ketuban merembes juga. Saya pun dipindahkan ke ruang tindakan untuk dilakukan pemeriksaan KTG, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, jaga-jaga kemungkinan saya akan dioperasi.

Saat dilakukan KTG, gelombang cinta sudah tak tertahan lagi. Tiba-tiba badan ini sudah pingin ngeden sendiri dan tidak bisa saya tahan. Saya ingatkan diri saya, bahwa itu belum boleh dilakukan bila pembukaan belum lengkap. Namun, saya seperti tak mampu mengendalikan penuh badan saya. Saya meminta untuk dilakukan pemeriksaan dalam lagi. Bidan di sana sempat menolak, karena pemeriksaan dalam yang sebelumnya dilakukan sekitar 15 menit yang lalu. Namun, karena sudah tidak tahan, saya bersikeras. Akhirnya diperiksa juga. Dan eng ing eng, ternyata sudah bukaan lengkap. Semua akhirnya buru-buru menyiapkan persalinan dan menelepon dr. Hariyasa.

Tak lama kemudian, dr. Hariyasa datang menyapa saya dengan ramah. Beliau segera menggunakan apron, masker, bersiap untuk membantu persalinan saya. Namun, saat itu ternyata si baby masih di H2+, masih tinggi dan gelombang cinta mulai berkurang. Cukup lama saya berusaha mengedan. Sementara itu, dr. Hariyasa ada panggilan operasi emergency sehingga Beliau harus mendahulukan itu.

Dan, datanglah beberapa dokter pengganti beliau. Tiba-tiba ruang bersalin jadi ramai tenaga medis dan dokter. Birth plan yang sebelumnya saya ajukan ke dr. Hariyasa, dikembalikan. Ambyar sudah harapan saya. Berharap bisa lahir normal, sealami mungkin ternyata tidak bisa diakomodasi RS ini. Banyak manipulasi yang menurut saya sebenarnya tidak perlu. Well, I am a doctor too. Saya tahu mana yang perlu dan tak perlu dilakukan. Salah satunya perihal episiotomi. Saya sebelumnya menyampaikan ke dokter itu, agar tidak diepisiotomi karena perkiraan berat bayi saya kecil (2,6kg) dan saya sudah latihan yoga sebelumnya. Namun, menurut dokter tersebut, perinium saya kaku. Pikiran saya berputar teringat Mama Bidan Rini dan Tin, yang selalu mengusahakan untuk tidak episiotomi, bahkan ketika berat bayi 3 kiloan. Masih berharap dr. Hariyasa akan datang saat itu. But I knew, it just was a waste of time. In that position, I was a patient, I couldn’t see my condition exactly. Maybe the doctor was true, maybe it was the best for me and my baby.

Setelah perjuangan mengedan, meski tanpa smooth landing delivery, si baby lahir. Harapan bisa segera IMD juga pupus, karena menurut dokter tangisnya si baby ngga kuat. Hati semakin perih, begitu tahu bahwa si baby mesti dirawat di ruang NICU, pisah dari kami.

Dua jam setelah lahiran saya kembali dievaluasi oleh seorang dokter, katanya ada hematom dan perlu dijarit sedikit. Saya mengiyakan saja, daripada pendarahan yang mengancam nyawa. Luka yang baru saja tertutup, kembali dibuka. Lebih sakit daripada saat melahirkan. Saya tak sengaja memegang tangan dr. X yang memeriksa saya saat itu. Tiba-tiba ia membentak saya untuk tidak memegang tangannya melainkan berpegangan pada pegangan di tempat tidur.

Kemudian seorang bidan menyampaikan kepada dr. X bahwa saya juga seorang dokter, baru kemudian sikapnya melunak dan mengajak saya mengobrol. Sesaat kemudian, datang dr. Y yang lebih senior. Saya mengenalnya karena dulu saya adalah coass saat ia dulu masih junior. Hati saya sedikit lega bertemu dengannya karena saya tahu dulu beliau sangat baik kepada pasien. Namun, sepertinya ia lupa pada saya. Maklum, ia pasti bertemu banyak coass.

Dr. X dan dr. Y kemudian menjelaskan bahwa luka yang saya alami cukup dalam dan perlu dijarit ulang. Saya memohon agar diberikan anastesi dulu sebelum dijahit. Di luar dugaan, mereka meyakinkan saya bahwa tidak akan lama dan tidak perlu anastesi. “Kamu kan dokter juga, malu dong pakai anastesi.” 🙂

Saya hanya bisa pasrah dan sambil menangis menahan rasa sakit saat dijarit. Semua keringat dingin keluar. Rasa sakit yang sampai saat ini tidak bisa saya lupakan. Kecewa? Pasti. Padahal mereka juga perempuan. Tidakkah ada empati sesama perempuan? Bukankah kita juga teman sejawat? Bukankah ada prinsip “do no harm” ?

I choose to forgive, but I’m sorry I can’t forget. Saya hanya berharap dan berdoa, semoga lain kali dr. X dan dr. Y bisa lebih manusiawi terhadap pasiennya dan terima kasih sudah membantu persalinan saya.

Proses persalinan yang diharapkan menjadi momen yang membahagiakan justru menjadi luka tiap kali dikenang. Mungkin ini juga yang kemudian membuat saya baby blues (yang akan saya ceritakan di post berikutnya). Seperti kata Husbae, biar ini menjadi pelajaran. Bila ini menyakitkan, biar aku tinggalkan bersama waktu.. bersama tahun 2018 yang akan segera berlalu.

To my dear little girl.. giving birth to you will always be the most wonderful thing for me, despite all ‘bad things’ behind. Because being with you today is God’s present for us.

Author:

Cogito Ergo Sum, que sera sera.

2 thoughts on “Giving Birth Story

  1. what’s the relevance between your job as a doctor and giving you anesthesia? if it is the procedure, why not? is there any rules set that the doctor couldn’t accept the same treatment as their patient?

Leave a comment